Tugas
Geomorfologi
dasar
O
L
E
h
Nama : Pathiah
kasili
Nim : 451 413 043
JURUSAN ILMU
TEKNOLOGI DAN KEBUMIAN
PRODI
PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS
MATEMATIKA DAN IPA
UNIVERSITAS
NEGERI GORONTALO
2016
Pengertian, Sejarah dan Arti Penting Geomorfologi
Pada hakekatnya geomorfologi dapat
didefinisikan sebagai ilmu tentang roman muka bumi beserta aspek-aspek yang
mempengaruhinya termasuk deskripsi, klasifikasi, genesa, perkembangan dan
sejarah permukaan bumi. Kata Geomorfologi (Geomorphology) berasal bahasa
Yunani, yang terdiri dari tiga kata yaitu: Geos (erath/bumi), morphos
(shape/bentuk), logos (knowledge atau ilmu pengetahuan). Berdasarkan dari
kata-kata tersebut, maka pengertian geomorfologi merupakan pengetahuan tentang
bentuk-bentuk permukaan bumi.
Sejarah geomorfologi
sejak awal abad 19 telah dikenal di negara-negara berkembang dan sebagai
disiplin akademik kira-kira muncul sebelum abad ke 17. Perkembangan yang pesat
dari geomorfologi terjadi pada awal abad ke 20 di negara-negara berkembang,
sedangkan di Indonesia geomorfologi baru dikenal pada awal abad ke 20. Awal
perkembangannya geomorfologi lebih bersifat akademik, sebagai ilmu pendukung
geografi dan geologi, tetapi dalam dasawarsa terakhir ini geomorfologi mulai
dirasakan arti pentingnya dalam pembangunan maupun dalam pengelolaan lingkungan
hidup. Geomorfologi yang kita pelajari seperti saat sekarang ini telah melalui
pengalaman panjang dalam membangun konsep dasar dan metodologinya. Ada 5 fase
perkembangan geomorfologi yang dapat ditelusuri, yang masing-masing uraiannya
adalah sebagai berikut:
§ Fase pertama (sebelum abad ke 17)
Fase ini merupakan fase peletak dasar pemikiran geologi dan
geomorfologi yang telah dimulai lima abad sebelum Masehi (Thornbury, 1954).
Pandangan kuno yang terkait dengan geologi dan geomorfologi seperti dikemukakan
oleh Herodutus (485-425 SM), Aristotle (384-322 SM), Strabo (54 SM – 25 M) dan
Senecca (- SM – 65 M). Herodutus, mengamati penimbunan geluh (loam) dan
lempung (clay) oleh S. Nil, sehingga memberikan julukan “Mesir adalah
pemberian S. Nil”. Pandangan Herodutus yang lain adalah perbukitan di Mesir
yang mengandung kerang, pada masa lampau pernah di bawah permukaan laut.
Aristotle, berpandangan bahwa air yang keluar dari
mata air itu berasal dari air hujan yang mengalami perkolasi ke bawah permukan
tanah; air yang ada di dalam bumi berasal dari kondensasi di udara yang masuk
ke permukaan bumi, dan air yang berada di dalam bumi menguap dengan berbagai
jalan.
Strabo, mengamati dan mencatat adanya penenggelaman
lokal dan munculnya daratan. Strabo berpendapat bahwa “Vale of Tompe” merupakan
basil gempa bumi, selain itu juga mengatakan bahwa G. Vesuvius adalah
gunungapi, meskipun semasa hidupnya gunungapi tersebut belum pernah meletus.
Pandangan Strabo yang lain adalah bahwa delta dari sungai bervariasi menurut
daerah aliran sungainya; delta yang besar terbentuk bila daerah yang dialiri
luas dan batuannya lemah, dan pembentukan delta terpengaruh oleh pasang surut
dan aliran sungai.
Seneca, mengenal gempa bumi lokal alami, tetapi masih
menganggap bahwa gempa bumi terjadi sebagai akibat bencana internal dari angin
daratan. Seneca juga beranggapan bahwa air hujan cukup untuk mengisi
sungai-sungai, dan juga berpandangan bahwa tenaga aliran sungai dapat mengikis
lembah-lembahnya.
Avicenna (Ibnu Sina, 987-1037) berpandangan bahwa asal
mula pegunungan dapat dibedakan menjadi dua kelompok yaitu pengangkatan seperti
yang terjadi oleh gempa bumi, dan oleh pengaruh air yang mengalir dan embusan
angin yang membentuk lembahlembah pada batuan lunak.
Leonardo da Vinci (1452-15190) berpandangan bahwa
lembah terkikis oleh sungai dan sungai tersebut mengangkut material dari suatu
tempat di permukaan bumi dan mengendapkannya di mana saja.
Dalam fase pertama ini sebagian besar pandangan memberikan
teori dasar terutama tentang proses berdasarkan pengamatan lokal, dan berusaha
memberikan penjelasan bagaimanakah suatu fenomena alam tersebut terjadi. Pada
fase ini ilmu geomorfologi belum muncul, tetapi pandangan-pandangan yang
dikemukakan sebagian masih relevan dengan konsep yang berlaku hingga saat ini.
§ Fase kedua (Abad 17 dan 18).
Pada fase ini ada dua konsep yang menonjol, yaitu konsep
katastrofisme dan konsep uniformitarianisme (King, 1976). Konsep katastrofisme
dikemukakan oleh Abraham Kitlob Wenner (1979-1817). Konsep tersebut muncul atas
dasar pengamatan Wenner pada strata batuan yang ternyata setiap stratum
(lapisan) memiliki sifat yang khas. Hasil pengamatan tersebut diformulasikan
menjadi konsep lahirnya bumi yang berasal dari basin lautan yang besar. Wenner
berpandangan bahwa setiap stratum batuan terjadi pada suatu dasar tubuh
perairan yang luas kemudian mengendapkan sedimennya di atas stratum yang ada
sebelumnya. Material yang lebih mampat terendapkan oleh larutan yang
pekat/kental. Pada waktu material secara berangsur-angsur diendapkan, laut
secara berangsur-angsur menyusut sehingga terbentuk daerah yang sekarang ini.
Pandangan Wenner lain yang terkait dengan konsep dasar geomorfologi adalah:
- Batuan dasar yang berupa batuan granit tidak berfosil;
- Setiap gradien sungai akan mencapai tingkat keseimbangan, dan gradien sungai merupakan fungsi dari kecepatan, debit dan muatan sedimen;
- Seluruh sistem sungai merupakan suatu sistem yang terintegrasi.
§ Fase Ketiga (Awal abad 19).
Pada fase ke tiga dari perkembangan geomorfologi ada tiga
tokoh yang terkenal yaitu: Sir Charles Lyell (1797-1875), Dean William Buckland
(1784-18560 dan Louis Agassiz (1807-1873).
Lyell
sebenarnya lebih antusias dalam geologi daripada ke geomorfologi, dengan bukti
karyanya yang berjudul “Principle of Geology”. Sumbangan pemikirannya
dalam geomorfologi adalah tentang perkembangan bentuklahan yang lambat bahkan
melebihi waktu geologi. Meskipun Lyell banyak mengadakan pengamatan terhadap
muatan suspensi, debit dan peubah-peubah lainnya, tetapi memberikan suatu
konsep yang mendasar. Dalam pengamatannya terhadap gletser (es), Lyell tidak
mempercayai kapasitas daya angkutnya dalam memindahkan bongkah dan endapan
gletser. Buckland, sangat setuju dengan siklus hidrologi, akan tetapi
tidak begitu mengerti mengapa sungai dapat membentuk lembahnya sendiri. Buah
fikiran Buckland yang lain adalah:
- relief merupakan basil dari struktur geologi dan bukan oleh proses erosi;
- material yang terangkut dari hulu dan melalui lembah sungai akan terendapkan di laut;
- pasang surut merupakan tenaga utama dalam transportasi material di bawah permukaan air laut.
Agassiz,
terkenal dengan teori glasialnya, bersama-sama dengan Buckland mengadakan
perjalanan ke Swiss. Mereka mengadakan pengamatan terhadap pantai dasar
glasial, yang akhirnya menghasilkan formulasi tentang struktur endapan glasial,
endapan “till “, karakteristik “moraine”, striasi dan gravel
glasial.
§ Fase ke empat (Akhir abad 19).
Pada fase ke empat ini paling tidak ada lima tokoh yang
terkenal, yaitu: Sir Andrew Ramsey; G.K. Gilbert; J.W. Powell; C.G. Greenwood
dan J.B. Jukes. Sumbangan fikiran Ramsey (1814-1891) dalam geomorfologi
terutama dalam proses glasial. Pendapat penting dari Ramsey, antara lain:
- ada hubungan penting antara teori glasial dengan teori fluvial; terutama untuk mengetahui tenaga gletser untuk mengerosi;
- kejadian danau di daerah bergletser tidak dapat dijelaskan dengan proses fluvial, tetapi dapat dijelaskan dengan proses glasial;
- tenaga erosi dari gletser terutama terdapat pads bagian bawah;
- ada hubungan antara retakan/lenturan dengan arah sungai.
Powell
(1834-1902) banyak memberikan konsep dasar dalam geomorfologi, antara lain :
- prinsip dari “base level” yang menyatakan bahwa “base level” akhir adalah permukaan air laut;
- proses erosi itu memiliki potensi relatif;
- mengusulkan dua klasifikasi lembah sungai, yaitu atas dasar hubungan antara strata lembah daerah yang dilalui dan klasifikasi lembah menurut genetiknya.
Gilbert
(1843-1918), memberikan dasar-dasar geomorfologi yang hingga kini masih
digunakan. Gilbert terkenal sebagai penulis metode ilmiah dan memformulasikan
pemikiran-pemikiran induktif dan deduktif dalam analisis geomorfik.
Konsep-konsep geomorfologis yang dikemukakan Gilbert, antara lain:
- teori “grade” yang menunjukkan adanya suatu rangkaian hubungan antara proses dan kenampakan, yang kemudian diasosiasikan dengan konsep penyesuaian dinamis;
- pengangkutan material di sungai meliputi pengangkutan material hasil erosi, erosi dasar sungai dan pengurangan ukuran material dasar oleh proses gesekan/benturan;
- lereng merupakan faktor yang sangat berpengaruh terhadap transportasi material oleh air;
- bertambahnya debit (luah) akan menyebabkan meningkatnya kecepatan aliran yang selanjutnya memperbesar kecepatan pengangkutan;
- dalam penyelidikan komponen fisikal hams dilandasi dengan formulasi teoriteori.
Greenwood (1793-1875) adalah pendukung Hutton dan Playfair. Konsep
yang dikemukakan oleh Greenwood adalah:
- proses denudasi di suatu lahan dapat dijelaskan dengan hujan dan sungai; air huj an yang jatuh di permukaan bumi membawa material halus di sepanjang lereng membentuk alur-alur dan akhirnya membentuk sungai-sungai kecil;
- lembah dan lereng merupakan suatu sistem yang terintegrasi.
Jukes
(1811-1869), mengemukakan pandangannya bahwa erosi marin tidak dapat membentuk
lembah. Jukes adalah orang pertama yang mengidentifikasikan peranan vegetasi
dalam pembentukan bentukahan.
§ Fase ke lima (Awal abad 20)
Dalam fase lima ini tokoh yang paling terkenal adalah
William Moris Davis (1850-1934). Teori yang pertama dikemukakan adalah “Siklus
Geomorfik” yang diterbitkan tahun 1889 dalam makalahnya yang berjudul “The
rivers and valleys in Pennsylvania”. Dalam siklus geomorfik tersebut disebutkan
bahwa semua bentuklahan akan berkembang menurut tiga stadium, yaitu : stadium
muda, dewasa, dan tua. Konsep Davis lainnya yang terkenal adalah trilogi.
Konsep trilogi tersebut menjelaskan bahwa bentukahan ditentukan oleh struktur,
proses dan stadium.
Walther Penk dalam tahun 1920 dan 1930 mengemukakan
keberatannya terhadap teori Davis. Perbedaannya terletak pada pandangannya
terhadap perkembangan bentuklahan. Menurut Penck perkembangan bentanglahan
tergantung oleh pengaruh tektonik yang aktif dan iklim. Akhirnya Penck
menyadari bahwa pendekatan yang dilakukannya bersifat geologis, sedangkan
pendekatan Davis lebih bersifat geografis.
Setelah periode Davis dan Penck banyak buku teks
geomorfologi yang terbit, akan tetapi hingga tahun 1960 (an) sebagian besar
masih mengikuti konsep Davis, antara lain: Lobeck (1939), Thornbury (1954),
Wooldridge (1959) dan Spark (1960). Setelah tahun 1960 (an) buku-buku teks
geomorfologi dapat dikelompokkan menjadi empat atas dasar pokok bahasannya
sebagai berikut.
- Kelompok topikal, yaitu yang menekankan pada salah satu aspek geomorfologi seperti proses pelapukan (Oilier, 1969), proses fluvial (Leopold, et al, 1964), Morisawa, 1968 dan Richard, 1982); gunungapi (Olier, 1969) dan pantai (Pethick, 1979)
- Kelompok metode dan tehnik penelitian dalam geomorfologi seperti King dan Goudie (1981, 1990), Dackombe (1983) dan Verstappen (1976);
- Kelompok pemetaan, yaitu yang menekankan pada tehnik pemetaan morfologi dan geomorfologi, seperti Verstappen dan Van Zuidam (1966, 1979), Klimmaszeski (1978), Demek (19780 dan Dorses dan Salome (1973);
- Kelompok terapan, yaitu yang menekankan pada terapan geomorfologi untuk berbagai tujuan seperti dalam bidang evaluasi lahan, kerekayasaan, konservasi lahan, evaluasi sumberdaya material dan dalam bidang lingkungan, seperti Van Zuidam, et al., (1979), Cooke, et al., (1974, 1982), Verstappen (1983), Maitor Pesci (1985), Hooke (1988), Viles dan Spencer, 1995, Panizza (1996) dan Oya, 2001.
Arti Penting Geomorfologi Pada dasa warsa terkahir ini sudah
dimulai tampak arti penting geomorfologi sebagai pendukung ilmu kebumian
lainnya dan ilmu yang terkait dalam arti praktisnya. Geomorfologi sebagai ilmu
mempunyai arti yang penting, seperti peranannya dalam geografi fisik dan
terapannya dalam penelitian. Geomorfologi sudah mulai dimasukkan dalam ke dalam
kurikulum pada fakkultas-fakultas seperti Fakultas Pertanian, Teknik,
Arkeologi, dan sebagainya serta banyak penelitian - penelitian yang menggunakan
pendekatan geomorfologi.
Sebagai contohnya adalah penggunaan pendekatan geomorfologi
untuk studi bencana alam, kerekayasaan, lingkungan, pemetaan tanah, pemetaan
air tanah dan sebagainnya. Namun demikian, geomorfologi dalam pengajaran serta
penelitian-penelitian yang bertema fisik yang non geomorfologik, uraian geomorfologi
hanya sekedar ilustrasi yang tradisional dan belum dimanfaatkan untuk dasar
pengambilan sampel daerah ataupun analisisnya. Hal ini disebabkan oleh berbagai
hal di antaranya adalah kurangnya atau langkanya buku-buku geomorfologi. Kajian
geomorfologikal akan menghasilkan data/informasi yang utama dan pertama dari
bentanglahan fisikal yang bermanfaat bagi pengembangan ilmu maupun terapan
praktisnya.
Dalam penerapan geomorfologi pada dasarnya banyak diwarnai
oleh Verstappen dalam bukunya yang berjudul “Applied Geomorphology
(Geomorphological Surveys for Environmental Development)” tahun 1983. Dalam
buku tersebut memuat berbagai terapan geomorfologi. Adapun terapan geomorfologi
yang dikemukakan oleh Verstappen tersebut adalah meliputi. Peran dan terapan geomorfologi
dalam survei dan pemetaan, survei geologi, hidrologi, vegetasi, penggunaan
lahan pedesaan, keteknikan, ekplorasi mineral, pengembangan dan perencanaan,
analisis medan, banjir, serta bahaya alam disebabkan oleh gaya endogen. Dari
apa yang telah dikemukakan di atas, maka geomorfologi mempunyai peran dan arti
yang cukup penting. Karena dalam suatu perencanaan pengemabang wilayah,
memerlukan informasi dasar yang menyeluruh baik aspek fisik maupun aspek
sosial. Pada aspek fisik geomorfologi dapat memberikan informasi melalui kajian
dengan pendekatan geomorfologi. Pendekatan geomorfologi digunakan dalam
melakakukan analisis dan klasifikasi medan (terrain analysis and
classification) dengan beberapa parameter seperti yang dikemukakan oleh
Zuidam, et al (1978 : 9 – 22), dimana pada intinya dalam analisis dan
klasifikasi medan dapat dikemukakan sebagai berikut:
1.
Relief/morfologi
meliputi bagian lereng, ketinggian, kemiringan lereng, panjang lereng, bentuk
lereng, bentuk lembah, dan aspek relief yang lain.
2.
Proses
geomorfologi meliputi erosi dan tipe erosi, kecepatan dan daerah
yangterpengaruh; banjir yang meliputi tipe, frekuensi, durasi, kedalaman, dan
daerahyang terpengaruh; gerakan massa yang meliputi tipe, kecepatan, daerah
yangterpengaruh.
3.
Tipe
material batuan meliputi batuan induk, material permukaan, kedalaman pelapukan.
4.
Vegetasi
dan penggunaan lahan meliputi tipe vegetasi, kepadatan, tipe penggunaanlahan,
periode, durasi, dan konservasi.
5.
Air
tanah mencakup kelembaban permukaan, kedalaman air tanah, fluktuasi air tanah,
dan kualitas air tanah.
6.
Tanah
mencakup kedalaman, kandungan humus, tekstur, drainase, dan daerah berbatu.
Berdasarkan apa yang telah dikemukakan di atas, maka
geomorfologi memegang peranan yang cukup penting, sebab hasil analisis dan klasifikasinya
medan ataupun lahan dapat dimanfatkan untuk berbagai kepentingan. Seperti dalam
bidang keteknikan, ekonomi, hidrologi dan lain sebagainya. Berbagai bentuklahan
yang ada di permukaan bumi, merupakan bagian kajian dari geomorfologi terutama
dan terutama tentang sifat alami, asal mula, proses perkembangan, dan komposisi
material penyusunnya.
Kaitannya dengan hal tersebut Thornbury (1954) dalam Sutikno
(1987: 12) menyatakan bahwa ada lima kelompok terapan geomorfologi, yaitu:
a)
Terapan
geomorfologi dalam hidrologi, yang membahas hidrologi di daerah karst dan air
tanah daerah glasial. Masalah hidrologi di daerah karst dapat diketahui dengan
baik apabila geomorfologinya diketahui secara mendalam. Air tanah di daerah
glacial tergatung pada tipe endapannya, dan tipe endapan ini dapat lebih mudah
didekati dengan geomorfologi.
b)
Terapan
geomorfologi dalam geologi ekonomi, yaitu membahas pendekatan geomorfologi
untuk menentukan tubuh bijih, jebakan residu, mineral epigenetik, dan endapan
bijih.
c)
Terapan
geomorfologi dalam keteknikan, aspek keteknikan yang dibahas meliputi jalan
raya, penentuan pasir, dan kerakal, pemilihan situs bendungan dan geologi
militer.
d)
Terapan
geomorfologi dalam keteknikan ini semua aspek geomorfologi
dipertimbangkan Terapan geomorfologi dalam ekplorasi minyak, banyak
unsur-unsur minyak di AS yang ditentukan dengan pendekatan geomorfologi
terutama bentuklahan termasuk topografi, untuk mengenal struktur geologi dalam
penentuan terdapatnya kandungan minyak. Terapan geomorfologi dalam bidang lain,
yaitu menyangkut pemetaan tanah, kajian pantai, dan erosi. Terapan geomorfologi
dalam ekplorasi minyak, banyak unsur-unsur minyak di AS yang ditentukan dengan
pendekatan geomorfologi terutama bentuklahan termasuk topografi, untuk mengenal
struktur geologi dalam penentuan terdapatnya kandungan minyak.
e)
Terapan
geomorfologi dalam bidang lain, yaitu menyangkut pemetaan tanah, kajian pantai,
dan erosi.
Konsep Dasar Geomorfologi Dan Aspek –
Aspek Geomorfologi
Ø Konsep
Dasar Geomorfologi
Untuk mempelajari
geomorfologi diperlukan dasar pengetahuan yang baik dalam bidang klimatologi,
geografi, geologi serta sebagian ilmu fisika dan kimia yang mana berkaitan erat
dengan proses dan pembentukan muka bumi. Secara garis besar proses pembentukan
muka bumi menganut azas berkelanjutan dalam bentuk daur geomorfik (geomorphic
cycles), yang meliputi pembentukan daratan oleh gaya dari dalam bumi (endogen),
proses penghancuran/pelapukan karena pengaruh luar atau gaya eksogen, proses
pengendapan dari hasil pengahncuran muka bumi (agradasi), dan kembali terangkat
karena tenaga endogen, demikian seterusnya merupakan siklus geomorfologi yang
ada dalam skala waktu sangat lama
1.
Hukum-hukum fisika, kimia dan biologi
yang berlangsung saat ini berlangsung juga pada masa lampau, dengan kata lain
gaya-gaya dan proses-proses yang membentuk permukaan bumi seperti yang kita
amati saat ini telah berlangsung sejak terbentuknya bumi.
2.
Struktur geologi merupakan faktor
pengontrol yang paling dominan dalam evolusi bentangalam dan struktur geologi
akan dicerminkan oleh bentuk bentangalamnya.
3.
Relief muka bumi yang berbeda antara
satu dengan yang lainnya boleh jadi karena derajat pembentukannya juga berbeda.
4.
Proses-proses geomorfologi akan
meninggalkan bekas-bekas yang nyata pada bentangalam dan setiap proses
geomorfologi akan membentuk bentuk bentangalam dengan karakteristik tertentu
(meninggalkan jejak yang spesifik yang dapat dibedakan dengan proses lainnya
secara jelas).
5.
Akibat adanya intensitas erosi yang
berbeda beda di permukaan bumi, maka akan dihasilkan suatu urutan bentuk
bentangalam dengan karakteristik tertentu disetiap tahap
6.
Evolusi geomorfik yang kompleks lebih
umum dijumpai dibandingkan dengan evolusi geomorfik yang sederhana
(perkembangan bentuk muka bumi pada umumnya sangat kompleks/rumit, jarang
sekali yang prosesnya sederhana).
7. Bentuk bentuk bentangalam yang
ada di permukaan bumi yang berumur lebih tua dari Tersier jarang sekali
dijumpai dan kebanyakan daripadanya berumur Kuarter.
8. Penafsiran secara tepat terhadap
bentangalam saat ini tidak mungkin dilakukan tanpa mempertimbangkan perubahan
iklim dan geologi yang terjadi selama zaman Kuarter (Pengenalan bentangalam
saat sekarang harus memperhatikan proses yang berlangsung sejak zaman
Pleistosen)
9. Adanya perbedaan iklim di muka
bumi perlu menjadi pengetahuan kita untuk memahami proses-proses geomorfologi
yang berbeda beda yang terjadi dimuka bumi (dalam mempelajari bentangalam
secara global/skala dunia, pengetahuan tentang iklim global sangat diperlukan)
10. Walaupun fokus pelajaran
geomorfologi pada bentangalam masa kini, namun untuk mempelajari diperlukan
pengetahuan sejarah perkembangannya.
Di samping konsep dasar tersebut
di atas, dalam mempelajari geomorfologi cara dan metode pengamatan perlu pula
diperhatikan. Apabila pengamatan dilakukan dari pengamatan lapangan saja, maka
informasi yang diperoleh hanya mencakup pengamatan yang sempit (hanya sebatas
kemampuan mata memandang), sehingga tidak akan diperoleh gambaran yang luas
terhadap bentanglahan yang diamati. Untuk mengatasi hal tersebut perlu
dikakukan beberapa hal:
a. Pengamatan bentanglahan dilakukan
dari tempat yang tinggi sehingga diperoleh pandangan yang lebih luas. Namun
demikian, cara ini belum banyak membantu dalam mengamati bentanglahan, karena
walaupun kita berada pada ketinggian tertentu, kadangkala pandangan tertutup
oleh hutan lebat sehingga pandangan terhalang. Kecuali, tempat kita berdiri
pada saat pengamatan bentang alam merupakan tempat tertinggi dan tidak ada
benda satupun yang menghalangi. Itupun hanya terbatas kepada kemampuan mata
memandang.
b. Pengamatan dilakukan secara tidak
langsung di lapangan dengan menggunakan citra pengideraan jauh baik citra foto
maupun citra non foto, cara ini dapat melakukan pengamatan yang luas dan cepat.
Ø Aspek-aspek
geomorfologi (cakupan utama didalam studi geomorfologi)
1. Studi
bentuklahan atau morfologi, mempelajari relief yang terdiri atas:
a. Aspekmorfografi
:
bersifat pemerian suatu daerah, seperti bukit, lembah, gunung, teras, beting/ pematang
dll.
b. Aspekmorfometri
:
aspek kuantitatif suatu daerah, seperti lereng, bentuk lereng, relief, beda
tinggi, ketinggian,bentuk lembah,tingkat pengikisan.
2. Studi
mengenai morfogenesa, yaitu proses yang mengakibatkan perubahan dan
proses terjadinya bentuklahan. Dibedakan menjadi:
a. Aspekmorfo-struktur
pasif: meliputi litologi dan berhubungan dengan
pelapukan.
b. Aspekmorfo-struktur
aktif: tenaga endogen,yaitu pengangkatan, perlipatan, dan
pensesaran.
c. Aspekmorfo-dinamik:
tenaga eksogen, berhubungan dengan tenaga angin, air, es, gerakan, massa,
kegunungapian.
3. Studi
mengenai geomorfologi yang menekankan pada evolusi pertumbuhan bentuklahan atau
morfokronologi, menentukan dan memerikan urutan bentuklahan dan proses
yang mempengaruhinya dari segi umur.
4. Studi
mengenai hubungan antara bentuklahan dan lingkungan atau morfo-kelingkungan dan
morfoasosiasi, seperti hubungan antara bentuklahan dan unsur bentuklahan
seperti batuan, struktur geologi, air, tanah, vegetasi, dan penggunaan lahan.
Proses
Geomorfologi (Proses Endogen)
Banyak para ahli,
seperti Worcester, Lobeck, dan Dury berbeda dalam menafsirkan tentang
pengertian proses geomorfologi, mereka beranggapan bahwa yang dimaksud dengan
proses disini adalah proses yang berasal dari dalam dan luar bumi (proses
endogenik dan proses eksogenik), ada pula yang beranggapan proses disini adalah
energi yang berasal dari luar bumi (gaya eksogen) saja. Adapun pengertian
proses disini adalah energi yang bekerja di permukaan bumi yang berasal dari
luar bumi (gaya eksogen) dan bukan yang berasal dari dalam bumi (gaya endogen).
Pengertian “Geomorphic Processes” semata-mata dijiwai oleh energi / proses yang
berasal dari luar bumi, dengan alasan adalah:
1.
Energi
yang berasal dari dalam bumi (gaya endogen) lebih cenderung sebagai faktor yang
membangun, seperti pembentukan dataran, plateau, pegunungan kubah, pegunungan
lipatan, pegunungan patahan, dan gunungapi.
2.
Energi yang berasal dari luar bumi (gaya
eksogen) lebih cenderung merubah bentuk atau struktur bentangalam.
Bentuk-bentuk permukaan
bumi terbentuk lewat proses pembentukan dan perombakan permukaan bumi yang
berlangsung cukup lama. Perubahan permukaan bumi terjadi oleh tenaga geologi
yang terdiri dari tenaga endogen dan tenaga eksogen.
Tenaga Endogen
Tenaga Endogen juga
bisa disebut juga tenaga tektonik. Tenaga Endogen adalah tenaga yang berasal
dari dalam bumi. Tenaga Endogen terdiri dari proses diatropisme dan proses
vulkanisme. Tenaga Endogen sering menekan di sekitar lapisan-lapisan batuan
pembentuk kulit bumi (litosfer).
a. Proses Diastropisme
Proses Diastropisme adalah proses strutual yang mengakibatkan
terjadinya lipatan dan patahan tanpa dipengaruhi magma tapi tenaga dari dalam
bumi.
b. Proses lipatan
Jika tenaga endogen
yang menekan litosfer arahnya mendatar dan bertumpukan yang mengakibatkan
permukaan bum melipat menybabkan terbentuknya puncak dan lembah.Bentuk
permukaan bumi dari hasil proses ini ada dua,yaitu: puncak
lipatan (antiklin) lembah
lipatan (sinklin)
c. Proses Patahan
Proses datropisme juga
dapat menyababkan truktur lapisan-lapian batuan retak-retak dan patah. Lapiasan
batuan yang mengalami proses patahan ada yang mengalami pemerosotan yang
membentuk lemdh patahan dan ada yang terangkat membentuk puck patahan. Lembah patahan
disebut slenk atau graben sedangkan puncak patahan dinamakan horst.
d. Vulkanisme
Tenaga
tektonik dapat mengakibatkan gejala vulaknisme. Gejala vulkanisme berhubungan
dengan aktivtas keluarnya magma di gunungapi. Proses keluarnya magma ke
permukaan bumi disebut erupsi gunungapi. Proses vulkanisme terjadi karena
adanya magma yang keluar dari zona tumbukan antarlampang. Beberapa gunugapi
ditemukan berada di tengah lempeng yang disebsbkan oleh tersumbatnya panas di kerak
bumi gejala ini disebut titik panas (hotspot).Para ilmuan menduga aliaran magma
mendesak keluar membakar kerak bumi dan melutus di permukaan.
·
Istilah-Istilah
vulkanisme :
a)
Vulkanologi : ilmu kebumian yang
memplajari gunungapi
b)
Magma : bahan silikat cair pijar yang
terdiri atas bahan padat,cair,dan gas yang terdapat di lapisan litosfer bumi.
Suhu normal magma bersikar 900 C-1200 C.
c)
Erupsi : proses keluarnya magma dari
lapisan litosfer sampai ke permukan bumi. Erupsi sebuah gunungapi dapdt berupa
lelehan (efusif) melalui retakan pada lapisan-lapisan batu. Dan ledakan
sumburan (ekaplosif) melalui kepundan atau corong gunung api
d)
Intrusi magma : proses penerobosan magma
melalui retakan-retakan lapisan batuan, tetapi tidak sampai ke permukaan bumi.
Apabila intrusi magma membeku maka akan terbentuk batuan intrusiva.
e)
Lava : magama yang keluar sampai ke
permukaan bumi.
f)
Lahar : lava yang telah bercampur dengan
bahan-bahan di permukaan bumu.
g)
Eflata / bahan piroklastik : bahan-bahan
yang lepas dari gunungapi ketika terjadi letusan eksplosif.
h)
Kawah : lubang pada tubuh gunungapi
sebagai tempat keluarnya magma. Kawah yang cukup besar disebut kaldera. Bila
kaldera terisi air yang cukup banyak mak akan terbentuk danau kawah atau danau
vulkanik. Kawah dan kaldera yang di Indonesia, antara lain Kawah Takubanperahu
(Jawa Barat), Kawah Gunung Tengger (Jawa Tengah), dan Kaldera Gunung Batur
(Bali).
·
Bentuk-Bentuk Gunung api
Berdasarkan bentuk letusanya,
gunung api dapat dibedakan menjadi tiga bentuk yang berbeda yaitu :
1.
Gunungapi Prisai : Gunungapi perisai berbentuk seperti perisai
(shields) terbentuk oleh letusan yang sangat cair (efusief), yaitu berupa
lelehan lava yang sangat luas dan landai. Ciri gunungapi perisai adalah
lerengnya sangat landai bahkan hampir datar, Contohnya, Gunung Mauna Loa dan
Gunung Mauna Kea di Hawai.
2.
Gunungapi Maar :Gunungapi maar terbentuk dari letusan berupa ledakan
(eksplosif) yang dahsyat yang terjadi sekali, dengan mengeluarkan bahan-bahan
berupa eflata. Gunung maar biasanya punya dapur magma yang dangkal dan magma
yang terdiri dari bahan-bahan padat dan gas yang padat. Contoh gunung maar
adalah : Gunung Lamongan (Jawa Timur), Gunung Pinakate (Meksiko), Gunung Monte
Muovo (Italia),
3.
Gunung api Starto : Gunung api starto
terbentuk akibat letusan yang berulang-ulang dan berseling-seling antara bahan
padat dan lelahan lava. Sebagian besar gunung di Indonesia adalah gunung starto
seperti :Gunung Semeru, Gunung Merapi, Gunung Agung, Gunung Kerinci.
e.
Gejala
Vulkanisme
Gejala
Vulakanik ada dua yaitu :
a)
Pravulkanik
Pravulkanik adalah
tanda-tanda atau gejala di suatu daerah akan terjadi letusan gunungapi.
Tanda-tanda akan terjadinya letusan gunungapi adalah :
1.
Kenaikan suhu udara di sekitar gunungapi
drastis (dari suhu rendah tiba-tiba naik jadi panas)
2.
Banyak tumbuhan kering dan hewan turun
dari gunung.
3.
Meningkatnya bau belerang yang menyengat
b)
Pascavulkanik (postvulcanic)
Pascavulkanik adalah gejala dimana gunungapi menampakan
aktifitas atau sedang dalam fase istirahat. Gejalanya antara lain :
1.
Ditemukannya
mata air panas, yang bisa dijadikan obat kulit, seperti mata air di Banten
(Jawa Tangah) dan di Ciatar (Jawa Barat)
2.
Ditmuaknya
gas gunungapi berupa :
3.
Uap
air (fumarola)
4.
Gas
belerang (sulfatar)
5.
Gas
karbondioksida (mofet)
6.
adanya
semburan air panas (geyser) yang keluar darirekahan batuan seperti di Cisolok
Sukabumi (Jawa Barat)
Proses
Geomorfologi (Proses Eksogen)
Tenaga eksogen yaitu tenaga yang berasal dari
luar bumi. Sifat umum tenaga eksogen adalah merombak bentuk permukaan bumi
hasil bentukan dari tenaga endogen. Bukit atau tebing yang terbentuk hasil
tenaga endogen terkikis oleh angin, sehingga dapat mengubah bentuk permukaan
bumi.
Secara umum tenaga eksogen berasal dari 3 sumber, yaitu:
a.
Atmosfer,
yaitu perubahan suhu dan angin.
b.
Air
yaitu bisa berupa aliran air, siraman hujan, hempasan gelombang laut, gletser,
dan sebagainya.
c.
Organisme
yaitu berupa jasad renik, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan manusia.
Di permukaan laut, bagian litosfer yang muncul akan
mengalami penggerusan oleh tenaga eksogen yaitu dengan jalan pelapukan,
pengikisan dan pengangkutan, serta sedimentasi. Misalnya di permukaan laut
muncul bukit hasil aktivitas tektonisme atau vulkanisme. Mula-mula bukit
dihancurkannya melalui tenaga pelapukan, kemudian puing-puing yang telah hancur
diangkut oleh tenaga air, angin, gletser atau dengan hanya grafitasi bumi.
Hasil pengangkutan itu kemudian diendapkan, ditimbun di bagian lain yang
akhirnya membentuk timbunan atau hamparan bantuan hancur dari yang kasar sampai
yang halus.
Contoh lain dari tenaga eksogen adalah pengikisan pantai.
Setiap saat air laut menerjang pantai yang akibatnya tanah dan batuannya
terkikis dan terbawa oleh air. Tanah dan batuan yang dibawa air tersebut
kemudian diendapkan dan menyebabkan pantai menjadi dangkal. Di daerah
pegunungan bisa juga ditemukan sebuah bukit batu yang kian hari semakin kecil
akibat tiupan angin.
1.
Pelapukan.
Pelapukan merupakan tenaga perombak (pengkikisan) oleh media
penghancur. Proses pelapukan dapat dikatakan sebagai proses penghancuran massa
batuan melalui media penghancuran, berupa:
a.
Sinar
matahari
b.
Air
c.
Gletser
d.
Reaksi
kimiawi
e.
Kegiatan
makhluk hidup (organisme)
Peroses
pelapukan terbagi jadi tiga, yaitu :
a.
Pelapukan Mekanik Pelapukan mekanik (fisik) adalah proses pengkikisan dan
penghancuran bongkahan batu jadi bongkahan yang lebih kecil,tetapi tidak
mengubah unsur kimianya. Proses ini disebabkan oleh sinar matahari, perubahan
suhu tiba-tiba, dan pembekuan air pada celha batu.
b.
Pelapukan Kimiawi adalah penghcuran dan pengkikisan batuan dengan mengubah
susunan kimiaai batu yang terlapukkan. Jenis pelapukan kimiawi terdiridari dua
macam, yaitu proses oksidasi dan proses hidrolisis.
c.
Pelapukan Organik dihasilkan oleh aktifitas makhluk hidup, seperti pelapukan
oleh akar tanaman (lumut dan paku-pakuan) dan aktivitas haewn (cacing tanah dan
serangga).
Relief
Orde I-III
Relief bumi yang dimaksudkan
disini adalah mencakup pengertian yang sangat luas, baik yang terdapat pada
benua-benua ataupun yang terdapat didasar lautan. Berdasarkan atas pengertian
yang luas tersebut, maka relief bumi dapat dikelompokkan atas 3 golongan besar,
yaitu :
1.
Relief
Orde I (Relief of the first order)
2.
Relief
Orde II (Relief of the second order)
3.
Relief
Orde III (Relief of the third order)
Pengelompokan atas
ketiga jenis relief diatas didasarkan pula atas kejadiannya masing-masing.
Karena itu pula didalamnya terkandung unsur waktu relatif.
§ Relief Orde Pertama
Yang
terdiri atas Paparan Benua (Continental Platforms) dan Cekungan Lautan (Ocean
Basin). Bentuk-bentuk dari orde pertama ini mencakup dimensi yang sangat luas
dimuka bumi. Sebagaimana diketahui bahwa luas daratan beserta air seluruhnya
sebesar 107.000.000 mil persegi, yang terdiri dari luas benua (continents)
sebesar 56.000.000 mil persegi dan sisanya. 10.000.000 mil persegi
merupakan luas continental shelf. Yang dimaksud dengan paparan benua meliputi
benua dan tepi benua(continental shelf). Dengan demikian luas total paparan
benua (continental platforms) adalah 66.000.000 mil persegi. Paparan benua
Amerika Utara & Selatan, Eurasia, Afrika, Australia, dan Antartika
merupakan bahagian-bahagian yang tertinggi dari permukaan litosfir.
Tepi Benua (Continental
shelf) adalah bagian dari paparan benua (continental platforms) yang terletak
dibawah permukaan air laut. Cekungan Lautan (Ocean Basin) mempunyai kedalaman
rata-rata 2,5 mil dibawah muka air laut, walaupun kita tahu bahwa dasar lautan
memiliki bentuk topografi yang tidak teratur. Terdapat banyak depressi-depressi
yang sangat dalam dari batas kedalaman rata-rata yang dikenal sebagai Palung
Laut (Ocean Troughs), disamping itu terdapat pula bagian-bagian dasar laut yang
muncul dipermukaan atau secara berangsur berada dekat dengan permukaan air
laut.
Relief order pertama
diketahui sangat erat hubungannya dengan proses kejadian bumi, dengan demikian
teori-teori tentang geologi, astronomi, fisika dan matematika, seperti
“Planetesimal Hypothesis”, “Liquid Earth Theories” maupun “Continental Drift
Theory” menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam pembentukan relief orde
pertama.
Gambar 1-1 Relief Order I : Benua dan Cekungan Samudra
§ Relief
Orde Kedua
Relief orde Kedua biasa
disebut juga sebagai bentuk bentuk yang membangun (Constructional forms), hal
ini disebabkan relief orde kedua dibentuk oleh gaya endogen sebagai gaya yang
bersifat membangun (Constructional Forces). Kawasan benua-benua dan Cekungan-cekungan
laut merupakan tempat keberadaan atau terbentuknya satuan-satuan dari relief
dari orde kedua, seperti dataran, plateau, dan pegunungan. Gaya endogen yang
berasal dari dalam bumi dapat mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan
diatas muka bumi. Adapun gaya endogen dapat berupa:
1.
Epirogenesa
(berasal dari bahasa Latin: epiros = benua dan genesis = pembentukan), proses
epirogenesa yang terjadi pada daerah yang sangat luas maka akan terbentuk suatu
benua, dan pembentukan benua dikenal sebagai “continent buiding forces”.
2.
Orogenesa
(berasal dari bahasa latin: Oros = gunung, dan genesis = pembentukan ), proses
orogenesa yang terjadi pada daerah yang luas akan membentuk suatu pegunungan
dan dikenal sebagai “mountain building forces”.
Kedua gaya endogen
tersebut diatas menyebabkan terbentuknya bentuk-bentuk bentangalam yang
membangun (contructional landforms). Apabila disuatu daerah yang tersusun dari
batuan yang perlapisannya horisontal maka terbentuk bentangalam yang disebut
dengan Dataran (Plain) atau Plateau. Proses ini dapat terjadi pada
lapisan-lapisan batuan yang berada di bawah laut kemudian terangkat oleh gaya
endogen menghasilkan bentuk bentangalam daratan atau plateau. Gaya endogen
dapat juga melipat lapisan-lapisan batuan sedimen yang awalnya horisontal
menjadi suatu bentuk kubah (dome mountains) dan apabila gaya endogen
mengakibatkan terjadinya dislokasi dari blok blok yang mengalami patahan serta
lapisan batuan mengalami tilting, maka dikenal dengan bentuk pegunungan patahan
(faulted mountains). Apabila gaya endogen mengakibatkan batuan sedimen terlipat
kuat menghasilkan perlipatan sinklin dan antiklin maka akan menghasilkan
pegunungan lipatan (folded mountains). Sedangkan apabila dipengaruhi oleh
lipatan dan patahan akan menghasilkan pegunungan lipat pathan (complex
mountains).
Kelompok lainnya dari
relief orde kedua adalah bentuk bentangalam yang dihasilkan oleh aktivitas
volkanik yang dikenal bentangalam gunungapi. Bentuk bentuk bentangalam yang
dihasilkan oleh proses endogen diatas masih brada dalam tahapan awal (initial
stage). Bentuk bentuk bentangalam ini kemudian akan mengalami proses
penghancuran oleh gaya eksogen (destruction forces) yang memungkinkan terjadinya
perubahan dari bentuk aslinya.
Gambar 1-2 Citra
pegunungan “Himalaya” yang terdapat di Nepal yang masuk kedalam relief orde
kedua.
Gambar 1-3 Pemandangan permukaan “Pegunungan Himalaya,
Nepal”
Gambar 1-4 Citra pegunungan “Appalachian” yang terdapat
di Amerika Serikat yang masuk kedalam relief orde kedua.
Gambar 1-5 Pemandangan permukaan “Pegunungan
Appalachian, USA”
§ Relief
Orde Ketiga
Relief order ketiga
dikenal juga sebagai bentuk bentuk yang bersifat menghancurkan (Destructional
forms), hal ini disebabkan karena relief ini dibentuk oleh proses proses
eksogen. Bentuk bentangalam yang berasal dari proses-proses eksogenik banyak
dijumpai pada relief orde ketiga dan jumlahnya tak terhitung banyaknya dimana
bentuk bentuk bentangalam ini memperindah dan menghiasi bentuk-bentuk
bentangalam konstruksional dari relief orde kedua. Proses eksogenik akan
meninggalkan bentuk-bentuk lahan hasil erosi, seperti : Valleys dan Canyons,
meninggalkan sisa sisa residu membentuk bentuk bentangalam seperti tiang (peak
landforms) dan kolom-kolom batuan yang tahan terhadap erosi, sehingga masih
menyisakan bentuk-bentuk seperti diatas, disamping itu juga akan meninggalkan
bentuk-bentuk pengendapan (depesitional forms), seperti delta atau tanggul.
Relief orde ketiga ini dapat dikelompokkan berdasarkan atas energi yang merusak
atau agen yang bersifat membangun. Ada 4 (empat) agent yang utama, yaitu sungai
(streams), gletser (glaciers), gelombang (waves) dan angin (winds), sedangkan
pelapukan merupakan pemeran utama bagi keempat agen tersebut.
1.
Bentuk-bentangalam yang dihasilkan oleh aktivitas
sungai (fluvial), yaitu :
a.
Bentuk
bentangalam hasil erosi (Erosional forms), seperti: gallies, valleys, gorges
dan canyons.
b.
Bentuk
bentangalam hasil residu (Residual forms), seperti: peaks, ronadrocks, summits
areas.
c.
Bentuk
bentangalam hasil pengendapan (Depositional forms) seperti: alluvial fans,
flood plains and deltas.
2.
Bentuk-bentangalam yang dihasilkan oleh energi dari
luncuran es (gletser) yaitu :
a.
Bentuk
bentangalam hasil erosi (Erosional forms), seperti: cirques, glacial trought.
b.
Bentuk
bentangalam hasil residu (Residual forms), seperti: patterhorn-peaks, aretes,
roche eontounees.
c.
Bentuk
bentangalam hasil pengendapan (Depositional forms), seperti: deraine, drumlins,
kame dan esker.
3.
Bentuk bentangalam yang dihasilkan oleh energi
gelombang laut, yaitu :
a.
Bentuk
bentangalam hasil erosi (Erosional forms), seperti: erode sea caves
b.
Bentuk
bentangalam hasil residu (Residual forms), seperti: stacks & Arches
c.
Bentuk
bentangalam hasil pengendapan (Depositional forms) seperti: beaches, bars &
spits
4.
Bentuk bentangalam yang diciptakan oleh energi
angin, yaitu :
a.
Bentuk
bentangalam hasil erosi (Erosional forms), seperti: blow holes pada
daerah-daerah yang berpasir
b.
Bentuk
bentangalam hasil residu (Residual forms), seperti: pedestal dan mushroom
rocks.
c.
Bentuk
bentangalam hasil pengendapan (Depositional forms) seperti: endapan pasir atau
lempung dalam bentuk dunes atau loess.
Selain energi yang
merusak secara fisik tersebut, organisme juga dapat menjadi agen yang cenderung
merusak batuan-batuan di permukaan bumi, sebaliknya aktivitas pengendapan dapat
menghasilkan bentuk-bentuk seperti coral-reefs dan hills. Dapat disimpulkan,
bahwa waktu terbentuknya ketiga orde relief itu berbeda-beda. Relief bentuk
pertama terbentuk lebih dulu dari pada relief orde kedua dan relief orde kedua
terbentuk lebih dulu dari pada relief orde ketiga.
Relief
order 3 yang dihasilkan oleh aktivitas sungai (fluvial): Gullies (kiri) dan
Kipas Aluvial (kanan)
Relief
order 3 yang dihasilkan oleh energi dari luncuran es: : glacial trought (kiri)
dan cirques glacial (kanan)
Relief order 3 yang dihasilkan oleh energi gelombang
laut: erode sea caves (kiri) dan stacks & Arches (kanan)
Relief order 3 yang dihasilkan oleh energi angin:
Sandunes (kiri) dan pedestal (kanan)
Bentuk
Lahan
Bentuk lahan (landstroms) dipermukaan
bumi dikelompokkan menjadi 4 kategori yaitu :
1.
Structuralland forms:
terbentuk oleh pergerakan lempeng tektonik ,seperti: pegunungan lipatan,lembah
dan gunung api.
2.
Weatheringland forms :
terbentuk oleh proses pelapukan, seperti : karst.
3.
Erosionalland forms :
terbentuk dari hasil pelapukan dan pengikisan muka bumi oleh kekuatan
angin,air,gletser dan gravitasi.
4.
Depositionalland forms : bentukan
hasil pengendapan, yang merupakan kelanjutan dari hasil pelapukan dan pengikisan.
Klasifikasi bentuk lahan
Tujuan klasifikasi bentuk lahan adalah
untuk mempermudah dalam penelitian geomorfologi, yaitu dengan menyederhanakan
bentuk lahan permukaan bumi yang kompleks menjadi satuan-satuan yang mempunyai
kesamaan dalam sifat dan perwatakannya.Yang dimaksud sifat dan perwatakan
bentuklahan adalah dalam hal : struktur geologi, proses geomorfologi dan kesan
dan ekspresitopografi.
Beberapa dasar klasifikasi bentuk lahan
antara lain:
1.
Berdasarkan relief/topografi:
a. Dataran
b. Plateau
(dataran tinggi)
c. Pegunungan,
dll.
2.
Berdasarkan struktur dan tingkat erosi:
a. Lipatan
b. Patahan
c. Dome
d. Vulkanis
3.
Berdasarkan ukuran:
a. OrdeI
b. OrdeII
c. OrdeIII,
dll
Masing – masing bentuk lahan dicirikan
oleh adanya perbedaan dalam hal :
1.
Relief/topografi
Relief atau kesan topografi memberikan informasi
tentang konfigurasi permukaan bentuk lahan yang ditentukan oleh keadaan morfometriknya.
Morfometrik adalah aspek kuantitatif dari bentuk lahan seperti kemiringan lereng,
bentuk lereng, ketinggian, beda tinggi, kekerasan medan, bentuk lembah, tingkat
pengikisan dan pola aliran.
2.
Material penyusun/litologi
Litologi memberikan informasi jenis dan karekteristik
batuan serta mineral penyusunnya yang akan mempengaruhi pembentukan bentuk lahan.
3.
Struktur dan proses geomorfologi
Struktur Geomorfologi memberikan
informasi tentang asal usul dari bentuk lahan tersebut,yang dapat dilihat dari bentuk
lahan utamanya. Proses Geomorfologi dicerminkan oleh tingkat
pentorehan atau pengikisan, sedangkan relief ditentukan oleh perbedaan titik tertinggi
dengan titik terendah dan kemiringan lereng.
Bentang
Alam
§ Konsep
Klasifikasi
Berpedoman kepada konsep dasar keseragaman proses (uniformitarianism),
dan hipotesis kerja penggandaan (multiple working hypothesis), member keyakinan
bahwa dengan sebenarnya pembentukan bentang-alam sangat kompleks, dan luasan yang dihasilkan dalam ukuran yang bervariasi.
Menyadari keadaan bentang-alam seperti itu, maka para ahli geomorfologi
(diawali dari Amerika Utara tahun 1930-1940an, dan dikembangkan lebih
sistematik di Eropa Timur kemudian Eropa Barat tahun 1960-1980an) membuat
klasifikasi bentangalam. Bentang-alam diklasifikasi berdasarkan beberapa
kriteria. Kriteria yang paling umum diterapkan adalah dominansi cara terjadi
(genesis), dan luasan pembentukan, dan kekhasan yang terekam pada bentang-alam
yang bersangkutan. Berdasarkan kriteria tersebut ditetapkan kelompok/satuan
bentang-alam tingkat paling tinggi, disebut morfogenesa. Guna memberi
pemahaman yang sederhana, selanjutnya dalam pembelajaran ini disebut kelompok
bentang-alam:
1. Struktural
2. Volkanik
3. Fluvial
4. Kars(t)
5. Glasiasi
Pesisir dan Pantai
6. Eolian
7. Pesisir
dan Pantai, dan
8. Morfogenesa
Bawah Laut
§ Kelas
Bentang-alam
1.
Bentang-alam
struktural
Bentang-alam
struktural (Gambar 3.1) disebut pula sebagai geomorfologi struktur, atau
morfotektonik. Prinsip pengertiannya adalah studi struktur geologi atau
tektonik berdasarkan kenampakan bentangalam. Bentang-alam ini sangat akrab
dengan kehidupan kita, karena ada di sekitar, dan mudah dikenali. Sebagai
penciri, apabila ada perbukitan atau pegunungan tidak disertai keluarnya magma
dari dalam bumi atau gejala volkanisme yang lain, dan tampak berderet panjang.
Persyaratan
pembetukan bentang-alam struktural adalah: 1) intensitas struktur geologi harus
mempunyai dimensi vertikal yang memadai (minimum puluhan meter), 2) ke
arah lateral, rentangan struktur ratusan meter, 3) batuan yang terkena
struktur geologi, mempunyai variasi resistensi mencolok, dan 4) proses
fluvial (aliran air) efektif bekerja. Kawasan bentang-alam struktural
mempunyai daya tarik untuk wisata gunung (mountain tourism), apabila
berada pada elevasi relatif tinggi dan sudut lereng relatif terjal. Sisi
negatif dari bentang-alam ini adalah bahaya gerak massa (mass movement), jenis:
rayapan (creeping) yang bergerak pelan, jatuhan batuan (rock fall), dan
bila dijumpai bidang gelincir seperti batulempung maka terbentuk lengseran (sliding).
2.
Bentang-alam
volkanik
MacDonald (1972), berpendapat bahwa gunungapi adalah
lubang tempat keluarnya material volkanik yang terakumulasi di sekitarnya membentuk
gunung atau bukit. Rittmann (1961), menyatakan gunungapi adalah celah tempat
keluarnya magma. Berdasarkan batasan tersebut, gunungapi merupakan
bentang-alam, sebagai manifestasi gejala volkanisme.
Deretan gunungapi di sekitar Samudra Pasifik dikenal
sebagai cincin api (ring of fire), dikarenakan 66 % temuan
gunungapi aktif di dunia berada di lingkar samudra tersebut. Gunungapi di
Indonesia merupakan bagian dari cincin api, sebanyak 20% dengan jumlah sekitar
125 buah. Ditinjau dari bidang pertanian, kawasan gunungapi aktif ini disebut
wilayah sabuk hijau (green belt) karena kawasan subur. Banyaknya
gunungapi aktif di Indonesia berpeluang ilmu kegunungapian (volkanologi)
akan terus berkembang.
Bentang-alam volkanik sebagai sumberdaya kebumian,
mengandung sesumber (resources), dan bahaya (hazards). Jenis sesumber
yang ada antara lain keindahan panorama, dengan lembah berdinding terjal,
dan hawa yang sejuk. Batuan volkanik merupakan bahan galian industri, dan sumberdaya
air baku. Berbagai bahaya yang ditimbulkan berkaitan erat dengan letusan
gunungapi, antara lain: guguran lava pijar, awan panas (glowing cloud
/ awan wedhus gembel: istilah khas untuk G.Merapi), dan lahar
letusan/lahar panas. Pasca letusan, dengan pemicu curah hujan di atas
normal, berpeluang bahaya guguran lava padam, dan lahar hujan/lahar
dingin.
Penanggulangan bahaya ada dua jenis, yaitu evakuasi,
dan rekayasa. Evakuasi dilakukan pada saat terjadi letusan. Usaha rekayasa
untuk mengatasi masalah pasca letusan, tercakup dalam teknik sabo (sabo
engineering). Usaha penanggulangan dan pemecahan masalah daerah gunungapi
aktif disebut mitigasi. Daerah gunungapi dengan segala pesonanya menjadikan
daerah ini sebagai daerah dengan kepadatan penduduk relative padat setelah
wilayah pantai atau wilayah rendah (low-land area).
3.
Bentang-alam
fluvial
Bentang-alam fluvial dihasilkan oleh proses
aktifitas air mengalir. Proses ini mengambil porsi minimal 70% dari proses
eksogenik di permukaan bumi. Air sebagai agen proses berlangsung di mana-mana,
mulai dari sedikit di atas permukaan laut sampai dengan di puncak pegunungan
tinggi sebelum terbentuk salju abadi. Ditinjau dari posisi lintang (Lintang
Selatan / Lintang Utara), proses ini tidak berkembang hanya di daerah kutub
(Kutub Selatan / Kutub Utara).
Bentang-alam fluvial erat hubungannya dengan aliran
sungai berstadia erosi dewasa – tua. Bentang-alam ini berupa low land area dengan
ketinggian relatif yang tidak jauh berbeda dengan sungainya. Karena adanya
sungai berpindah (shifting), kemungkinan bentang-alam ini sudah agak
jauh dari sungainya saat ini. Pertanda lain dari bentang-alam fluvial yang
mutlak adalah litologi penyusun merupakan fasies fluvial, meskipun telah
sedikit mengalami pengangkatan (peremajaan / rejuvination). Jenis-jenis
bentangalam fluvial, terdiri dari: aliran sungai, gosong sungai, tanggul alam,
rawa sungai, danau tapal kuda, sungai bekas, dataran limpah banjir, dan undak
sungai; delta, dan kipas alluvial.
4.
Bentang-alam
Kars
Menurut Jenning (1971, dikutip Bloom 1978),
bentang-alam kars adalah lahan dengan relief dan penyaluran yang aneh,
berkembang pada batuan mudah larut oleh perilaku air alam. Flint, and Skinner
(1972), mendefinisikan bentang-alam kars terbentuk pada daerah berbatuan
mudah larut, dicirikan surupan (sink, ponor) berasosiasi dengan gua,
membentuk topografi yang aneh (peculiar topography), penyaluran tidak
teratur dan menjadi masuk ke dalamtanah (sub-drainage), dan lembah
kering (dryvalley). Pembentukan bentang-alam kars (karstifikasi)
ditentukan oleh kondisi fisik batuan (Von Engeln, 1942). Kondisi yang dimaksud
adalah ketebalan keseluruhan, tipe perlapisan yang ideala masif, dan
terkekarkan secara sistematik. Bloom (1978) menyebutkan bahwa proses
pelarutan akan intensif bila air alam mengikat C02, aktififas mikrobiologi, dan
iklim. Berdasarkan ukuran pembentukan, bentang-alam kars dikelompokkan menjadi
kars mayor, dan kars minor dan kars mikro (tampak secara mikroskopik).
Berdasarkan tempat pembentukan dengan datum
permukaan tanah, bentang-alam kars dikelompokkan menjadi eksokars apabila terbentuk
di atas permukaan tanah, dan endokars yang terbentuk di bawah permukaan tanah. Bentang-alam
kars sebagai sumberdaya kebumian mengandung prospek sesumber, dan bahaya.
Prospek sesumber, diawali perannya sebagai wilayah jelajah advonturir bagi
para pecinta gua kars, batugamping, batu-ornamen dalam gua, fosfat guano,
fosfat marin, bahan Mangan. dan speleotem. Daerah kars sebagai daerah
berpotensi bahaya, utamanya terjadi karena runtuh atap gua.
5.
Bentang-alam
Glasial
Bentang-alam glasial terbentuk pada lokasi sangat
terbatas, Penyebabnya karena agen penyebabnya adalah gletser (salju/es yang bergerak).
Gletser dijumpai di daerah kutub, lintang tinggi pada musim dingin, dan daerah
berelevasi minimal 4.000 m dpal.
Gletser sebagai media erosi, sedimentasi, atau
pembentuk bentang-alam, mempunyai densitas (kerapatan massa) tinggi. Hal itu
mengindikasikan gletser akan merasuk ke dalam celah batuan, sambil
menggerus permukaan batuan lembah yang teralirinya. Jejak yang ditinggalkan
berupa bentangalam minor: lekukan, tonjolan, goresan, dan penyemiran.
Tebing-tebing pada bentang-alam glasiasi nyaris
tegak, bahkan tebing menggantung (hanging valley). Kenampakan tebing,
dan lembah mirip
gambaran
huruf "U" dan dalam. Kenampakan lembah yang dalam dengan tebing tegak
masih teramati sampai di pantai, dan dikenal sebagai pantai fyord.
Endapan hasil proses glasiasi bersifat sejenis
dengan lahar hasil endapan fluvio-volkanik. Sifat tersebut adalah,
tektur: berukuran butir lempung - bongkah, kemas terbuka, dan bongkah di atas (floating
mass). Potensi sesumber daerah bentang-alam glasial adalah sebagai daerah tujuan
wisata, dan arena olahraga es, dan sumber air tawar. Bahaya yang sering terjadi
adalah guguran avalansi (debris avalanche). menginformasikan jenis
bentang-alam glasial.
6.
Bentang-alam
Eolian
Bentang-alam Eolian terbentuk oleh angin, terbentuk
pada bagian permukaan bumf yang terbatas, yaitu koordinat lintang menengah
(300-500LS/LU). Sedangkan tinjauan Secara geografis peluang pembentukannya di
daerah aliran sungai besar, bekas salju/gletser mencair, atau zona pesisir dari
samudra lepas.
Tiga faktor penyebab pembentukan bentang-alam
eolian, yaitu angin berhembus kuat sepanjang tahun, kontinyuitas pasokan
pasir (sand supply), dan vegetasi jarang. Wilayah kepulauan
Indonesia berpeluang terbentuk bentang-alam eolian, yaitu di pantai-pantai dari
pulau yang berhadapan dengan samudra lepas. Pantai yang dimaksud adalah pantai:
barat Pulau Sumatra, selatan Pulau Jawa, selatan Kepulauan Nusa Tenggara (Bali
- NTT), utara Pulau Sulawesi, dan selatan & utara Pulau Papua. Salah satu
pantai yang intens terbentuk bentang-alam ini adalah Pantai Parangtritis di
Kabupaten Bantul DIY.
Bentang-alam eolian di Parangtritis merupakan
suatu kompleks yang sekuensial. Sebagai embrio dari bentang-alam
tersebut adalah pembentukan pematang gisik (beach ridge) di bagian
paling selatan, berada di zona garis pantai. Selanjutnya ketika pengaruh
air-laut secara langsung sudah kurang dominan, di sebelah utaranya berurutan
terbentuk gumuk-pasir (sand-dune) jenis longitudinal (memanjang),
barchan (bulan sabit), dan transversal (melintang). Sekuen
gumuk-pasir seperti itu akan berakhir di muara Sungai Opak, empat kilometer di
sebelah barat Pantai Parangtritis.
Erosi oleh angin secara abrasi dan ablasi.
Abrasi berlangsung apabila kerja angin tanpa ada butir pasir, sedangkan
ablasi terjadi apabila di dalam angin terkandung butir pasir. Sedimen hasil
pengendapan oleh angin mempunyai kesamaan dengan sedimen oleh proses
fluvial, yaitu struktur sedimen laminasi, silang siur, dengan sortasi
butir baik.
Lahan berpasir di bentang-alam eolian berpotensi
sebagai akuifer airbawahtanah dangkal, bahan bangunan pasir. Bahaya yang
ditimbulkan oleh mobilitas pasir adalah ancaman kelangsungan jalan umum, lahan
pertanian, permukiman, dan geolombang tsunami.. Usaha penghijauan, dan
sekaligus mengerem laju pergerakan butir pasir dapat dilakukan di atas lahan
gumukpasir dengan menggunakan vegetasi yang sesuai, dan mengikuti system sikat/sisir
(comb / brush).
7.
Bentang-alam
Pantai dan Pesisir
Pantai merupakan bentang-alam yang penting selain
laut di sebelahnya. Pantai merupakan merupakan pembatas antara daratan, dan
laut. Secara sederhana didasarkan pada kenampakan garis pantai, bentang-alam
ini dibagi menjadi pantai lurus dan pantai berliku.
Pantai lurus adalah pantai dengan konfigurasi garis
pantai lurus. Pantai ini berhubungan erat dengan pertumbuhannya pada masa kini
ke arah laut (prograding shoreline), hasil sedimentasi atau karena
daratan mengalami penaikan. Penciri lain dari pantai ini adalah lereng landai
hampir datar, dengan pesisir yang lebar. Kalau memperhatikan jenis pantai lurus
ini secara teliti, maka dapat dikenal pantai: lurus sejajar, lengkung, bulan
muda, aigi gergaji, Bertanduk.
Pantai berliku adalah pantai dengan konfigurasi
garis pantai tidak lurus/berbelok-belok, ini dapat disebabkan oleh tenggelamnya
pantai atau pantai itu seolah-olah mundur (retrograding shoreline), pantai
mempunyai pesisir yang sempit bahkan kadang-kadang tidak berkembang. Banyak
jenis pantai berliku didasarkan pada kekhasannya masing-masing, antara lain:
Pantai ria, Pantai fyord, Pantai terjal, Pantai volkanik, Pantai struktural,
dan Pantai terumbu. Pantai ria, adlah pantai yang mengalami erosi fluvial
kemudian tenggelam, daratan dibelakang pantai tersebut berupa perbukitan.
Pantai fyord adalah pantai tenggelam karena erosi glasial. Pantai terjal,
mundumya garis pantai terjadi karena pukulan ombak yang kuat, sehingga
membentuk tebing terjal, ada indikasi terkontrol oleh tektonik. Pantai
volkanik, termasuk dlam pantai berliku, karena aktivitas magma yang lebih
sering tidak teratur, dan litologi resisten. Pantai struktural dicirikan adanya
tebing yang terjal dan berliku, disebabkan oleh pensesaran atau struktur geologi
yang lain. Pantai terumbu mempunyai konfigurasi garis pantai yang berliku,
terbentuk karena pertumbuhan koral pada masa kini.
Tinjauan
ringkas geologi lingkungan pantai. Pantai merupakan salah satu pilihan sebagai
daerah tujuan wisata. Berkaitan dengan usaha pengembangan, dan managemen
pantai, maka low land coastal lebih mudah dikembangkan dibandingkan
jenis lain. Pantai rendah dan datar, merupakan wilayah permukiman kelas satu
(kualitas, dan kuantitas pemukimnya), sebagai kawasan industri yang paling
berkembang, lokasi bandara dan pelabuhan laut yang memadai. Namun kondisi
seperti itu tetap saja mengandung sejumlah kendala, antara lain
banjir, amblesan, intrusi air-laut, kekurangan air-baku, pencemaran,
pertumbuhan kawasan pinggiran yang cenderung kumuh., dan sebagainya.
8.
Bentang-alam
Bawah Laut
Sejak paruh ke dua abad 20 orang memperhatikan laut
dengan keadaan yang ada di dalamnya. Pada awalnya pemahaman terhadap laut hanya
sebatas sampai kedalaman sekitar 100 meter saja. Padahal luasan tubuh air
tersebut lebih dari dua kali luas permukaan daratan. Dunia kita ini terdiri
dari dua permukaan, yaitu daratan seluas 29%, dan 71% merupakan permukaan laut.
Air (dalam pengertian umum) yang terkandung dalam laut mencakup lebih dari 97%
total air di dunia.
Banyak kepentingan orang ketika mulai perlu
mempelajari laut. Pada awalnya berkaitan dengan usaha eksplorasi dan
eksploitasi minyak bumi. Selanjutnya usaha orang untuk mempelajari dinamika
bumi, tidak terhindarkan harus dengan media proses aktual di lantai samudra
yang mengalami pemekaran (sea floor spreading). Berkaitan dengan
kepentingan ekonomi mineral, orang mulai melirik kemungkinan mengeksploitasi
bahan galian industri non minyak bumi, yang teragih baik di dasar zona taut
dangkal maupun di zona laut dalam. Bhatt (1978), menyatakan bahwa daratan
mempunyai elevasi rata-rata sekitar 0,75 km., dan sebagai puncak tertinggi
adalah Mt. Everest (8.900 m.dpal.). Samudra mempunyai kedalaman
rata-rata hampir 4 km (tepatnya 3729 m), dan palung (trench) terdalam
adalah Palung Mariana (-11.022 m).
Daftar Pustaka
Lobeck, AK. (1939), Geomorphology,
An Introduction to the study of Lanscape, New
York and London:
Mc Graw-Hill Book Company. Inc.
Sudarja Adiwikarta dan Akub Tisnasomantri, (1977), Geomorfologi
Jilid I, Bandung: Jurusan
Pend. Geografi IKIP Bandung.
Sukmantalya, I Nyoman K, Drs. M.Sc. (1995), Pengenalan
Secara Tinjau Geomorfologi dan Terapannya
Melalui PJ Untuk Inventarisasi Sumberdaya
Lahan, Cibinong: Bakosurtanal.
Suprapto Dibyosaputro, Drs. M.Sc., (1997), Geomorfologi
Dasar, Yogyakarta: Fakultas
Geografi UGM.
Sutikno (1987), Geomorfologi Konsep dan Terapannya “Makalah”,
Yogyakarta: Fakultas Geografi UGM.
Suwijanto, Ir., (tanpa tahun), Geomorfologi “Makalah”,
Kursus Pendalaman Meteri Ilmu
Kebumian Bagi Guru SMU Tingkat Regiaonal Jawa Tengah,
Kebumen: LIPI UPT Lab. Alam Geologi Karangsambung.
van Zuidam, R.A, dan F.I. van Zuidam Cancelado, 1979. Terrain
Analysis And Classification Using
Aerial Photographs, International Institute for Aerial Survey and Earth
Science (ITC) 350, Boulevard Al Enschede, The Netherlands.
Verstappen, M.Th., 1983. Applied
Geomorfology (Geomorphological Surveys for Environmental
Development), Amsterdam: Elsevier Science Publishing Company Inc.